"Mengapakah Sara tertawa dan berkata: Sungguhkah aku akan melahirkan anak, sedangkan aku telah tua? Adakah sesuatu apapun yang mustahil untuk TUHAN? Pada waktu yang telah ditetapkan itu, tahun depan, Aku akan kembali mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara mempunyai seorang anak laki-laki." Lalu Sara menyangkal, katanya: "Aku tidak tertawa," sebab ia takut; tetapi TUHAN berfirman: "Tidak, memang engkau tertawa!" (Kej 18:14-15)
Oleh : Philipus Vembrey Hariadi
Ketika hal yang tidak mungkin terjadi atas diri kita, maka kecenderungan yang ada di dalam diri adalah menertawakan hal yang tidak mungkin itu. Salah satu contohnya ada sebuah perumpamaan yang saya ambil dari situs st-yohansebosco.org sebagai berikut:
Ada cerita tentang seorang guru yang masuk ke ruang kelas untuk memulai pengajarannya. Setelah menguasai kelas, ia bertanya kepada murid-muridnya tentang menjadi apakah mereka masing-masing di masa depan. Satu per satu mengungkapkan sesuai yang diberitahukan orang tuanya atau seperti yang diinginkan sendiri. Namun seorang anak laki-laki yang duduk di belakang mengangkat tangan lalu menjawab:
“Saya ingin menjadi mungkin”. Semua di dalam kelas tersentak diam seakan tidak percaya ada jawaban seperti itu. Lalu guru mendekati anak itu dan menanyakan apa artinya “menjadi mungkin”.
Anak itu berkata: “Saya ingin menjadi mungkin karena di rumah papa dan mama selalu melihat dan menganggap saya tidak mungkin.”
Tanggapan anak di dalam cerita itu mau menyatakan kepada kita semua bahwa kata "mungkin" seperti sesuatu yang haram sekali disebut. Apalagi hal-hal yang dianggap yang mustahil untuk diwujudkan. Sikap kita terhadap kemustahilan itu, sikap kita terkadang meremehkan dan bahkan menertawai.
Sama halnya seperti yang dilakukan oleh Sara dalam menanggapi janji Allah. Seperti yang dikatakan dalam ayat di atas bahwa ada kecenderungan bahwa Sara menertawai perbuatan yang akan dilakukan oleh Allah. Sesuatu yang menurut orang banyak adalah hal yang tidak mungkin. Karena jika dikatakan secara biologis, Sara sudah tidak akan mungkin mengandung dan melahirkan seorang anak. Itulah yang membuat Sara tidak mempercayai janji yang disampaikan oleh Allah.
Namun demikian, Allah tetap menjanjikan apa yang dianggap tidak mungkin oleh Sara itu. Manusia hanya bisa menanggapinya dengan tertawa dan bahkan meremehkan. Tetapi Allah tetap berjanji akan sesuatu yang baik yang akan terjadi pada diri manusia. Allah adalah positifisme yang kadang dilupakan oleh manusia di dalam seluruh kehidupan manusia.
Oleh : Philipus Vembrey Hariadi
Ketika hal yang tidak mungkin terjadi atas diri kita, maka kecenderungan yang ada di dalam diri adalah menertawakan hal yang tidak mungkin itu. Salah satu contohnya ada sebuah perumpamaan yang saya ambil dari situs st-yohansebosco.org sebagai berikut:
Ada cerita tentang seorang guru yang masuk ke ruang kelas untuk memulai pengajarannya. Setelah menguasai kelas, ia bertanya kepada murid-muridnya tentang menjadi apakah mereka masing-masing di masa depan. Satu per satu mengungkapkan sesuai yang diberitahukan orang tuanya atau seperti yang diinginkan sendiri. Namun seorang anak laki-laki yang duduk di belakang mengangkat tangan lalu menjawab:
“Saya ingin menjadi mungkin”. Semua di dalam kelas tersentak diam seakan tidak percaya ada jawaban seperti itu. Lalu guru mendekati anak itu dan menanyakan apa artinya “menjadi mungkin”.
Anak itu berkata: “Saya ingin menjadi mungkin karena di rumah papa dan mama selalu melihat dan menganggap saya tidak mungkin.”
Tanggapan anak di dalam cerita itu mau menyatakan kepada kita semua bahwa kata "mungkin" seperti sesuatu yang haram sekali disebut. Apalagi hal-hal yang dianggap yang mustahil untuk diwujudkan. Sikap kita terhadap kemustahilan itu, sikap kita terkadang meremehkan dan bahkan menertawai.
Sama halnya seperti yang dilakukan oleh Sara dalam menanggapi janji Allah. Seperti yang dikatakan dalam ayat di atas bahwa ada kecenderungan bahwa Sara menertawai perbuatan yang akan dilakukan oleh Allah. Sesuatu yang menurut orang banyak adalah hal yang tidak mungkin. Karena jika dikatakan secara biologis, Sara sudah tidak akan mungkin mengandung dan melahirkan seorang anak. Itulah yang membuat Sara tidak mempercayai janji yang disampaikan oleh Allah.
Namun demikian, Allah tetap menjanjikan apa yang dianggap tidak mungkin oleh Sara itu. Manusia hanya bisa menanggapinya dengan tertawa dan bahkan meremehkan. Tetapi Allah tetap berjanji akan sesuatu yang baik yang akan terjadi pada diri manusia. Allah adalah positifisme yang kadang dilupakan oleh manusia di dalam seluruh kehidupan manusia.
Komentar
Posting Komentar